Ia bekerja dengan Robert Koch di Berlin pada penelitian bakteriologi dan kembali ke Jawa pada 1886. Diilhami oleh penelitian Robert Koch, penemu bakteri tuberkulosis (TBC), Christiaan Eijkman berkeinginan besar untuk menemukan bakteri penyebab beri-beri dan kalau beruntung, sekaligus dengan obatnya.
Lalu, pada 15 Januari 1888 Christiaan Eijkman diangkat sebagai direktur pertama di lembaga penelitian tersebut sekaligus menjadi direktur Sekolah Dokter Djawa (Sekolah Kedokteran Jawa) yang kemudian sekarang menjadi Universitas Indonesia. Christiaan Eijkman bertugas di sana sampai dengan 4 Maret 1986.
Baca Juga: Adolf Dassler, Tokoh Penemu Sepatu Sepak Bola
Saat menjadi ditektur lembaga riset, Christian Eijkman melakukan penelitian pada ayam-ayam peliharaan laboratoriumnya yang tiba-tiba terserang penyakit yang dalam banyak hal sangat mirip dengan gejala polineuritis pada manusia.
Pada 1897, Christiaan Eijkmaan berhasil menunjukkan bahwa kondisi tersebut disebabkan makanan unggas yang menggunakan beras giling bersih. Sementara, ketika ayam-ayamnya diberi pakan dari beras giling kasar yang masih tersisa kulit arinya, ia tak menemukan kasus polineuritis.
Fakta tersebut membawa Christiaan Eijkmaan pada kesimpulan bahwa ada semacam racun dalam beras yang menjadi penyebab beri-beri dan zat penawarnya teradapat pada kuilt ari atau sekam padi itu sendiri.
Selama penelitian tersebut, Christiaan Eijkman menemukan kulit ari beras di Indonesia ternyata mengandung vitamin B1. Penelitiannya bersama Frederick Gowland Hopkins, Christiaan Eijkman berhasil memenangkan Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 1929.
Baca Juga: Bandara Soekarno Hatta Siapkan 3 Alternatif Pelayanan Rapid Test
Christiaan Eijkman dianugerahi Nobel karena ia orang pertama yang menunjukkan adanya zat dalam kulit beras yang kemudian diberi nama vitamin B1. Ia juga dianugerahi Nobel karena cara penelitiannya yang baru dan metodenya untuk mengontrol penyakit yang disebabkan kekurangan vitamin.***