Sejarah Kaos , Pernah Menjadi Simbol Kebebasan dan Pemberontakan Anak Muda

- 5 Maret 2022, 16:39 WIB
Ilustrasi Kaos.
Ilustrasi Kaos. /ANTARA/

Cianjurpedia.com - Bermula dirancang sebagai pakaian dalam, kini kaos atau t-shirt telah menjelma menjadi item pakaian yang paling banyak dikenakan.

Kaos juga berevolusi seiring perkembangan zaman, tidak hanya menonjolkan fungsi semata.

Akan tetapi beralih sebagai simbol kebebasan dan “pemberontakan” anak muda, produk mode untuk mengekspresikan diri, hingga media promosi dan kampanye politik.

Baca Juga: Sejarah Panjang Toilet Umum, Bermula dari Pajak Urine yang Dipungut Kaisar Romawi

Dibandingkan dengan atasan seperti kemeja, jas, jaket, yang sudah dipakai manusia selama berabad silam, umur kaos relatif lebih muda.

Asal-usul kaos berasal dari akhir abad ke-19 ketika para pekerja di Amerika Serikat kerap memotong pakaian dalam panjang mereka menjadi dua agar tetap sejuk saat bekerja di musim panas.

Laman Realthread mencatat kaos diproduksi pertama kalinya saat Perang Meksiko-Amerika pada tahun 1898.

Kemudian tahun 1913, Angkatan Laut AS mulai mewajibkan penggunaan kaos sebagai dalaman seragam.

Baca Juga: Sepenggal Kisah Pelukis Raden Saleh, Makamnya Baru Ditemukan 43 Tahun Setelah Ia Meninggal

Bentuknya yakni pakaian dengan leher bulat, berlengan pendek, dan berwarna putih. Di kalangan marinir, sudah sangat umum bagi mereka untuk melepas jaket dan seragam dan hanya mengenakan serta mengotori kaos saat bekerja.

Meskipun telah diproduksi dari tahun 1898, butuh waktu 22 tahun untuk menemukan nama pakaian dalam tersebut.

Penulis F Scott Fitzgerald menjadi orang pertama yang melabeli pakaian sederhana itu dengan nama “t-shirt” dalam novelnya yang berjudul This Side of Paradise terbitan 1920.

Pada tahun yang sama, kata t-shirt masuk ke dalam kamus Bahasa Inggris Merriam-Webster.

Konon, penamaan t-shirt didasari pada bentuk pakaiannya yang menyerupai huruf “T” atau mengacu pada marinir yang menggunakan pakaian itu untuk latihan (training).

Pada 1930an ketika terjadi depresi hebat di AS, kaos menjadi pakaian yang sering dikenakan saat melakukan pekerjaan pertanian atau peternakan.

Baca Juga: Mengenal Hutan Kota Ranggawulung Subang, Namanya Diambil Dari Leluhur Sunda

Selain itu selepas Perang Dunia II, tidak jarang terlihat para veteran mengenakan kaos yang dimasukkan ke dalam celana panjang mereka. tetapi di luar itu, kaos tetap berstatus sebagai pakaian yang dianggap tidak sopan.

Popularitas kaos semakin meluas ketika aktor Marlon Brando mengenakannya pada film A Streetcar Named Desire pada 1950.

Momen itu juga merupakan pertama kalinya kaos muncul di Hollywood sebagai pakaian luaran yang berdiri sendiri.

Film lainnya yang semakin mempopulerkan kaos adalah Rebel Without a Cause (1955) yang diperankan aktor James Dean.

Kedua aktor yang memerankan anak muda bengal tersebut semakin menjadikan kaos sebagai pakaian yang dinilai tidak pantas.

Baca Juga: Rasulullah Dimakamkan Persis Di Tempat Beliau Wafat, Begini Fakta Mengenai Makam Nabi Muhammad SAW

Namun, tidak bagi anak muda. Kaos diasosiasikan sebagai simbol pemberontakan. Pasalnya, kaos yang sebenarnya pakaian dalam tetapi dipakai sebagai luaran.

Saat itu, mulai banyak perusahaan konveksi yang memproduksi kaos secara massal. Bahkan, organisasi masyarakat yang bernama Underwear institute menuntut agar status kaos oblong diakui sebagai pakaian sopan.

Kaos, dari yang semula dikenakan untuk bekerja di luar ruangan dengan cepat berevolusi menjadi pakaian modis di akhir tahun 1950an.

Terlebih lagi, aktor tampan Marlon Brando yang dianggap mempopulerkan kaos di kalangan anak muda sempat menjadi model iklan kaos oblong tetapi dengan gaya yang lebih elegan.

Ketika budaya hippies menjamur di barat, kaos tidak hanya sekedar mode, tetapi juga bentuk ekspresi atau identitas yang memakainya.

Baca Juga: Masjid-Masjid Bersejarah di Sekitar Nabawi, Erat Kaitannya Dengan Kisah Rasulullah dan Para Sahabat

Kaos diasosiasikan sebagai simbol anti kemapanan. Pada saat bersamaan, kelompok lainnya seperti komunitas punk, bahkan organisasi politik juga menyadari bahwa kaos dapat menjadi propaganda selain media yang telah ada.

Bentuk ekspresi apapun dapat dicetak pada kaos, dan penyebarannya mampu melewati batas-batas yang tidak dapat dicapai media seperti poster.

Sejak 1960-an, kaos telah berkembang pesat sebagai media berbagai bentuk kampanye seperti iklan, promosi, hingga kampanye politik.***

Editor: Fitrah Ardiansyah

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x