Fanous biasanya dibiarkan tetap tergantung sampai Ramadhan berakhir.
Kemunculan tradisi memasang fanous di bulan Ramadhan kerap dikaitkan dengan peristiwa di masa dinasti Fatimiyah, tahun 358 H atau 969 M.
Konon, ketika Khalifah Muiz Lidinillah memasuki Kairo untuk pertama kalinya, ia disambut warga secara massal dengan lentera.
Momen itu disebut terjadi bertepatan dengan awal Ramadhan. Sejak saat itu, setiap Ramadhan tiba, fanous selalu muncul menghiasi kota.
Tidak hanya sebagai penghias dan ekspresi kegembiraan menyambut Ramadhan, fanous juga memiliki makna filosofis.
Baca Juga: Di Kota Tarim, Yaman, Masyarakatnya Terbiasa Melakukan Sholat Tarawih Hingga 100 Rakaat
Fanous disebut sebagai perlambang bahwa lampu pada hakikatnya adalah sumber cahaya. Begitu juga dengan Ramadhan, kehadirannya diibaratkan sebagai lampu penerang dalam kehidupan.
Setelah sekian waktu bergelut dengan kesibukan yang kadang mengaburkan pandangan, kemudian datanglah lampu Ramadhan yang membawa ke jalan lebih terang.
Fanous biasanya dilengkapi dengan hiasan kertas warna-warni yang digunting dalam berbagai bentuk dan dirangkai dengan seutas tali, kemudian digantung di antara gang atau jalan.
Di antara dua gedung terkadang digantung fanous dalam ukuran besar. Bagi anak- anak suasana ini amat menyenangkan.