Thomas Stanford Raffles (1811-1816) dan Leonard de Bus de Gisignies (1826-1830) senang mandi air belerang untuk melepas lelah. Kondisi tersebut membuat pemerintah kolonial membangun tiga bangunan tambahan. Ketiganya kini dikenal dengan nama Pavilion Yudistira, Pavilion Bima, dan Pavilion Arjuna.
Baca Juga: Hyu Bin 'Crash Landing on You' Sudah Ganteng, Kaya Terus Dermawan
Pada 1954, Presiden Soekarno memerintahkan dua orang arsitek, RM Soedarsono dan F Silaban, membuat desain sebuah bangunan mungil di lereng gunung, masih dalam lingkungan Istana.
Sekeliling tembok bangunan serta pelataran depan dan samping bangunan berhiaskan batu-batu sehingga menyerupai bentol. Bangunan yang mirip dengan jamur itu pun kini dikenal dengan nama gedung bentol. Di sana, Soekarno kerap mencari inspirasi untuk penulisan pidato.
Baca Juga: Antisipasi Cuaca Ekstrim Pendakian Gunung Gede Pangrango Ditutup
Kini, terdapat enam pavilion di sekitar gedung induk, tepatnya di halaman belakang istana. Di setiap pavilion terdapat ruang tamu, ruang tidur, ruang rias, dan ruang makan. Dinding-dindingnya berhiaskan aneka lukisan karya pelukis dalam dan luar negeri.
Baca Juga: Pasar Cikapundung , Surganya Barang Elektronik, Seni dan Antik di Kota Bandung
Hampir seluruh konstruksi bangunan induk dari lantai hingga atap dibangun dari bahan kayu jati. Elemen besi cor juga dipakai sebagai penguat dan ragam hias bangunan. Dalam perkembangannya, beberapa lantai dan dinding direnovasi dengan bahan batu dan batako.***