Ketan yang manis ini pada awalnya hanya dikonsumsi oleh sendiri dan tetangga. Karena salah satu tradisi masyarakat setempat, selalu berbagi makanan dengan tetangga.
Tak disangka masyarakat suka dengan camilan manis bertekstur kering di luar, namun basah di dalam ini. Akhirnya ketan manis tersebut banyak dihidangkan dalam acara-acara besar seperti khitanan dan hajatan.
Baca Juga: Bikin Heboh! Warga Sekampung di Bandung Mendadak Kaya, Diduga Ikut Pesugihan Nyi Roro Kidul
Lambat laun kepopuleran si ketan manis ini tidak hanya popular di warga Cililin. Namun, penduduk dari luar pun senang dengan penganan ini.
Bahkan menurut Syamsul Ma'arif, mengatakan bahwa awal mula sebutan wajit berasal dari orang Jawa yang mencicipi ketan manis tersebut.
Di Jawa kudapan ketan manis ini disebut ‘wajik’, namun karena pelafalan orang Cililin yang mayoritas beretnis Sunda, memanggilnya dengan sebutan ‘wajit’.
Sekitar tahun 1920-an kepopuleran wajit kian santer di masyarakat Cililin, berkat promosi tidak langsung, dari mulut ke mulut.
Fenomena ini direspon oleh Juwita dan Uti, untuk mulai menjual wajit temuannya. Wajit pun semakin populer dan tak pernah absen dari acara-acara besar.
Rasanya yang pas di lidah setiap orang, membuat wajit menjadi salah satu kuliner menak. Biasanya para menak menyantap wajit ditemani dengan teh pahit.