Mengenang Artidjo Alkostar, Sang Algojo Para Koruptor

28 Februari 2021, 19:18 WIB
Mantan Hakim Agung dan Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar meninggal dunia, Minggu 28 Februari 2021. /Kepala Staf Kepresidenan (KSP)/

Cianjurpedia.com - Artidjo Alkostar lahir di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948. Kedua orang tuanya berasal dari Kabupaten Sumenep di Madura.

Artidjo menghabiskan masa kecil di daerah kelahirannya hingga menyelesaikan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo.

Selepas SMA, Artidjo Alkostar melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta kemudian melanjutkan Master of Laws di Nort Western University, Chicago, Amerika Serikat dan lulus pada 2002. Ia lalu melanjutkan S3 di Universitas Diponegoro Semarang dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum pada 2007.

Baca Juga: Gegara Ikan Cupang, Bocah di Bekasi Hampir Jadi Korban Penculikan

Artidjo mengawali karir sebagai pengacara publik di LBH Yogyakarta. Ketika ia berada di New York pada 1989-1991 untuk mengikuti pelatihan pengacara HAM di Columbia University, ia juga bekerja di Human Rights Watch.

Sepulangnya dari Amerika, Artidjo mendirikan kantor hukum bernama Artidjo Alkostar and Associates sampai tahun 2000.

Pada masa selanjutnya, Artidjo berkarir sebagai Hakim Agung hingga 22 Mei 2018 dan sudah menangani 19.483 perkara.

Baca Juga: Kunjungi Pondok Pesantren, Menkes Minta Pengasuh Jangan Kendor Terapkan Protokol Kesehatan

Selama kariernya sebagai hakim agung, Artidjo kerap memberikan vonis berat pada pelaku korupsi. Terhitung sejak bertugas di MA, Artidjo telah menyidangkan 842 pelaku korupsi dengan mayoritas putusan tergolong sangat berat.

Ketegasan Artidjo pernah dirasakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dalam perkara penerimaan suap terkait perkara-perkara di MK. Saat itu permohonan kasasi Akil ditolak sehingga dia tetap dihukum seumur hidup.

Selain itu, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan lshaaq mengalami hal serupa. Sebelumnya, Luhfi Hasan divonis 16 tahun, dalam kasus suap impor daging sapi. Luthfi Hasan Ishaaq kemudian mengajukan kasasi ke MA. Namun kasasinya ditolak, malahan Artidjo memperberat vonisnya menjadi 18 tahun penjara dan memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

Baca Juga: Propam Polri Minta Masyarakat Lapor Jika Melihat Anggota Polisi ke Tempat Hiburan Malam

Kemudian ada mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang awalnya dijatuhi vonis 8 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Jakarta. Namun di tangan majelis kasasi Artidjo, MS Lumme dan Krisna Harahap, Anas mendapat vonis kasasi 14 tahun penjara dalam perkara korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah.

Juga masih ada mantan anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh yang terjerat kasus suap pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Di pengadilan tingkat pertama Angie mendapat vonis 4,5 tahun penjara. Tapi majelis hakim kasasi yaitu Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap meperberat vonis Angelina Sondakh menjadi 12 tahun penjara sesuai dengan tuntutan jaksa KPK.

Baca Juga: Pasca Penembakan Bripka CS, Kadiv Propam Larang Anggota Polri ke Tempat Hiburan Malam

Kemudian ada lagi perkara mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Irjen Pol Djoko Susilo dalam kasus korupsi simulator SIM dan pencucian uang yang awalnya "cuma" divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Jakarta namun oleh majelis kasasi yang terdiri atas Artidjo Alkostar, M Askin, dan MS Lumme dijatuhi 18 tahun penjara sesuai dengan tuntutan jaksa KPK.

Selanjutnya mantan politikus Partai Demokrat Sutan Bhatoegana (kini almarhum) dalam perkara penerimaan suap dijatuhi hukuman kasasi oleh majelis kasasi Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abdul Latief selama 12 tahun penjara. Sebelumnya pengadilan Tipikor memvonis 10 tahun penjara terhadap Sutan Bhatoegana.

Di sisi lain, Artidjo pun pernah membuat putusan yang menguntungkan terdakwa korupsi yaitu kepada "office boy" Hendra Saputra dalam perkara korupsi proyek pengadaan videotron 2012 di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Baca Juga: KPK Tegaskan Vaksinasi Covid-19 untuk Semua Pegawai dan Tahanan

Majelis kasasi Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme menjatuhkan putusan lepas dari dakwaan terhadap Hendra Saputra pada 21 Januari 2016.

Kepergian Artidjo Alkostar tentu membuat banyak pihak merasa kehilangan. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.

"Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yg penuh integritas. Artidjo Alkostar adalah hakim agung yang dijuluki algojo oleh para koruptor. Dia tak ragu menjatuhkan hukuman berat kepada para koruptor tanpa peduli pada peta kekuatan dan back up politik," kata Mahfud dalam akun twitter pribadinya @mohmahfudmd.

Mahfud mengaku mengenal Artidjo sejak menjadi dosen di Fakultas Hukum UII Yogyakarta sejak 1978 seperti dirinya dan juga ketika almarhum berporfesi sebagai pengacara.

Mahfud menuturkan Artidjo lah yang menginspirasi dirinya untuk menjadi dosen dan menjadi aktivis penegakan hukum dan demokrasi.

"Pada 1990/1991 saya dan Mas Artidjo sama-sama pernah menjadi visiting scholar (academic researcher) di Columbia University, New York. RIP, Mas Ar," ungkap Mahfud.

Sedangkan penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan bahwa Artidjo adalah tokoh yang jujur dan berani.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Turut berduka cita atas meninggalnya tokoh penegak hukum Pak Artidjo Alkostar. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa, menerima semua amal ibadahnya dan husnul khotimah. Kejujuran, keberanian dan kesederhanaannya menjadi teladan," tulis Novel di akun twitter-nya.***

Editor: Cecep Mahmud

Sumber: Dari berbagai sumber, PRMN, VIU

Tags

Terkini

Terpopuler